Walimatus Safar merupakan syukuran atau selametan yang dilakukan oleh seseorang atau keluarga sebelum melakukan perjalanan haji / umrah.
Tradisi Walimatus Safar ini biasanya dihadiri oleh orang-orang terdekat dari yang akan berangkat haji, seperti dari keluarga, sahabat, hingga tetangga sekitar rumah.
Acara umumnya dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama atau kyai. Doa-doa yang dipanjatkan bertujuan untuk memohon perlindungan dan keselamatan selama perjalanan.
Selain doa, acara Walimatus Safar seringkali diisi dengan pengajian atau ceramah keagamaan yang mengingatkan para hadirin tentang pentingnya niat baik dan ibadah selama perjalanan.
Tradisi ini tercatat sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada zaman itu, perjalanan haji memakan waktu minimal enam bulan bahkan bisa sampai bertahun-tahun karena kehabisan bekal dan bekerja di perkebunan atau perusahaan setempat. Tidak sedikit orang yang berangkat haji tapi tidak bisa kembali pulang karena meninggal di perjalanan atau terdampar di suatu tempat.
Istilah Walimatus Safar sendiri tidak ditemukan dan dikenal dalam literatur Islam sebelum akhirnya muncul tahun 1970--an. Walimatus safar juga banyak dikenal dengan ratiban.
Prof Nasaruddin Umar dan Indriya R. Dani dalam buku 100+ Kesalahan dalam Haji & Umrah menjelaskan, acara ratiban dilakukan untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, membaca sholawat, dan mendoakan orang yang melaksanakan haji agar diberi keselamatan dan mabrur ibadah hajinya.
Menurutnya, acara semacam ini baik dalam rangka pelaksanaan ibadah haji maupun kegiatan lainnya dan hukumnya sunnah. Sehingga, apabila hal dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Masyarakat menyambutnya dengan mengadakan walimah atau acara makan-makan. Naqi’ah ini bisa diadakan oleh musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambutnya. Al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berpendapat: “Disunahkan melangsungkan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.”
Pendapat ini didukung oleh hadis riwayat Jabir bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah selepas pulang dari perjalanan, Beliau menyembelih unta atau sapi (HR Al-Bukhari). Dalil ini memperkuat kesunahan mengadakan selamatan setelah pulang dari perjalanan jauh. Selamatan sebagai bentuk rasa syukur atas diselamatkannya musafir dari bahaya perjalanan.
Demikian pula dengan selamatan sebelum haji. Hukumnya dapat disamakan dengan naqi’ah. Terlebih lagi, substansi acaranya tidak melenceng sedikit pun dari syariat Islam. Di dalamnya terdapat unsur silaturahmi, sedekah, do’a, baca Al-Qur’an, dan lain-lain. ***
0 comments