Bisnis Tanpa Modal "Dropship", Apa Hukumnya Dalam Islam?



Seiring dengan maraknya jual beli yang dilakukan secara online, bisnis "dropship" makin dilirik oleh pebisnis pemula karena bisa langsung dikerjakan tanpa harus mengeluarkan modal untuk membeli stok barang. Tapi apa hukumnya dalam Islam?

Dalam dropship, penjual atau dropshipper tidak perlu modal awal karena tidak menyediakan stok barang. Ia hanya berperan sebagai perantara yang menghubungkan antara supplier dan pembeli.  Nantinya, supplier yang akan melakukan pengiriman barang ke pembeli atas nama dropshipper.


Dikutip dari situs nuonline, dropshipping merupakan sistem jual beli tanpa modal (urudlu al-tijârah). Pedagang bergerak selaku makelar (samsarah) atau selaku orang yang diberi hak kuasa menjualkan barang (wakil) oleh pedagang stok (supplier). Barang yang diperjualbelikan mengikuti klasifikasi barang yang disediakan oleh penyedia stok-nya.

Adapun harga barang, maka ada dua kemungkinan, yaitu: pertama, pedagang memberikan harga sendiri atas barang yang dijual, yang berbeda dengan harga pokok pemilik stok. Kedua, pedagang hanya berperan selaku orang yang mendapatkan izin menjualkan barang milik supplier

Umumnya, ada 2 model dropshipping yang biasa dilakukan.

1. Dropshipping dengan barang yang belum mendapatkan izin dari supplier.

Dropshipper menawarkan barang yang masih berada di tangan orang lain atau pedagang aslinya. Ia hanya berperan mencarikan barang, tanpa kesepakatan imbalan (ujrah) dengan pedagang pertama.

Sebagai gambaran mudahnya adalah perdagangan ala makelaran.

Barang yang ditawarkan belum menjadi milik makelar, dan belum mendapat izin atau meminta izin kepada pedagang aslinya, tapi dia sudah menawarkan barang.

Jual beli sistem dropship model makelaran seperti ini disepakati oleh mayoritas ulama sebagai haram, kecuali mazhab Hanafi yang masih membolehkan, asalkan ia mengetahui ciri-ciri umum dari barang.

Sebagian dari kalangan Syafi’iyah juga masih ada yang menyatakan boleh, namun sifatnya hanya terbatas pada barang tertentu yang mudah dikenali dan tidak gampang berubah ciri khasnya, contohnya makelar sepeda motor. Untuk jual beli barang seperti ini termasuk jual beli ainun ghaibah, yaitu jual beli barang yang belum ada di tempat.

Pangkal hukum yang memperlemah status kebolehan dropshipping sistem pertama ini adalah masalah izin yang belum didapatkan oleh dropshipper dari supplier. Itulah sebabnya ia dikelompokkan dalam sistem samsarah (makelar) yang hanya di mazhab Hanafi saja yang membolehkannya. Salah satu ulama dari kalangan Malikiyyah, yakni Syekh Wahbah Zuhaily juga menyatakan kebolehan dari akad samsarah ini. Dalam Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, beliau menyampaikan:

ﻭاﻟﺴﻤﺴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰﺓ، ﻭاﻷﺟﺮ اﻟﺬﻱ ﻳﺄﺧﺬﻩ اﻟﺴﻤﺴﺎﺭ ﺣﻼﻝ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻞ ﻭﺟﻬﺪ ﻣﻌﻘﻮﻝ

Artinya: “Jual beli makelaran adalah boleh. Dan upah yang diambil oleh makelar adalah halal karena ia didapat karena adanya amal dan jerih payah yang masuk akal.” (Lihat: Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tt.,: 5/21!).

Namun, sayangnya dalam mazhab Maliki tetap mensyaratkan adanya al-ajru, yaitu upah bagi makelar, yang berarti harus ada izin langsung dari pihak supplier. Jadi, satu-satunya mazhab yang membolehkan dalam masalah ini adalah mazhab Hanafi saja.

2. Dropshipping dengan barang yang mendapat izin dari supplier

Dropshipper meminta izin kepada supplier untuk ikut menjualkan barangnya. Dengan demikian pedagang berperan selaku orang yang diizinkan atau mendapatkan kuasa menjualkan.

Selaku orang yang mendapatkan hak kuasa, maka kedudukannya hampir sama dengan pedagang reseller. Hanya saja, kondisi barang yang dijual belum ada di tangan pedagang.

Selaku orang yang diberi izin menjualkan barang, maka dropshipping sistem kedua ini masuk kategori bai’u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad, yaitu jual beli barang yang belum ada di tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan diperbolehkan sebab pemberian kuasa.

Kalangan ulama mazhab Syafi’i ada yang memandang hukumnya sebagai boleh sebagaimana pendapat berikut ini:

وقوله لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز

Artinya: “Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, difahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.” (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240)

Namun kebolehan ini disertai dengan syarat mutlak yaitu apabila contoh barang tersebut pernah disaksikan oleh pembeli, mudah dikenali dan tidak gampang berubah modelnya, sebagaimana pendapat ini tercermin dari pernyataan berikut ini:

إن كانت العين مما لا تتغير غالبا كالأواني ونحوها أو كانت لا تتغير في المدة المتخللة بين الرؤية والشراء صح العقد لحصول العلم المقصود

Artinya: “Jika barang “‘ain ghaibah” adalah berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241).

Adapun akad jual beli untuk dropshipping model kedua ini adalah akad salam, yaitu jual beli dengan sistem pemesanan. Hukumnya adalah boleh (jaiz).Sumber: nuonline - Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM



You Might Also Like

0 comments